DAMPAK KECANDUAN VIDEO GAME PADA ANAK
oleh : Redaksi [ 2008-12-18 02:22:08 ]
PADA mulanya, video games atau
sejenisnya diciptakan hanya sekadar untuk mengisi waktu luang misalnya sedang
menggu, dan sebagainya. Jenis ini dikenal dengan istilah dingdong. Karena itu,
penempatannya pun hanya di pusat-pusat perbelanjaan atau di gedung-gedung
bioskop dan pusat keramaian. Namun kenyataannya, kehadiran dingdong ini banyak
disalahgunakan, misalnya saja didirikan di dekat sekolah dan di tempat-tempat
yang kurang layak. Barangkali ini salah satu pencetus anak membolos dari
sekolahnya.
Menurut Seto Mulyadi alias Kak Seto,
permainan ini dimaksudkan untuk merangsang kecepatan bereaksi. Tapi parahnya,
permainan itu mampu membuat anak kecanduan. Dengan sendirinya anak akan lupa
belajar, makan, dan sebagainya. Ini tentu saja akan mengganggu fisik dan mental
si anak.
Positif-Negatif
Sosiolog dari UI, Dra. Siti
Hidayati, menilai video games cukup gawat pengaruhnya pada sosialisasi anak.
Dalam proses sosialisasi, anak butuh teman sebaya untuk bermain. Bermain di
sini diartikan sebagai proses belajar bermasyarakat. Ini pasti perlu ruang dan
waktu. Konyolnya, katanya, lahan bermain makin lenyap, sementara waktu pun
hilang begitu saja di depan layar video games.
“Dalam permainan ini, anak
berhadapan dengan benda mati. Jadi, tak ada interaksi yang kreatif,” papar Siti
seraya menambahkan, akhirnya tersimpulkan bahwa di situ tak ada interaksi
kreatif dalam diri anak. “Cepat atau lambat, hal ini akan mengikis proses
sosialisasi anak sebelum akhirnya mengambil peran dalam masyarakat,” katanya.
Prof. Dr. Utami Munandar, psikolog,
mengingatkan bahwa dampak buruk yang bisa ditimbulkan akibat kecanduan
permainan ini adalah melemahnya fisik dan psikis, tanpa disadari anak. Rentetan
berikutnya, menyebabkan anak kekurangan energi dan melemahnya konsentrasi.
Maka, jangan heran jika sewaktu-waktu nilai di rapor anak menurun, dan tidak
usah kaget bila tiba-tiba seorang anak berubah jadi pemarah dan mudah
tersinggung. “Memang pengaruhnya besar sekali terhadap perkembangan
inteligensia anak-anak,” ujar Utami.
Sejauh permainan itu belum membuat
kecanduan, Dra. Shinto B. Adelar, M.Sc, sekretaris jurusan Psikologi
Perkembangan UI melihat adanya dua sisi — positif dan negatif — dalam video
games. Dampak positif yang ditimbulkan permainan ini adalah belajar menemukan
strategi. Dalam video games anak dirangsang menemukan atau mencapai score
tertinggi, dengan sendirinya ia mempelajari setiap kesalahan yang telah
diperbuat. Score itu dimaksudkan sebagai penghargaan atas jerih payah anak.
Selain itu, kata Shinto, masih ada
segi positif lainnya, yakni melatih keterampilan tangan, koordinasi motorik
mata dan tangan menjadi lebih terlatih. Segi lain adalah ketekunan. Namun
“ketekunan” di sini dapat berarti buruk. Untuk sisi negatifnya, Shinto menilai
video games bisa menumbuhkan sikap agresif. Contohnya, untuk mencari score
tertentu ia harus menghancurkan lawan, dengan cara “membunuh” dan sebagainya.
Hal ini, kata Shinto, bisa membingungkan anak bila tak dapat membandingkan
antara permainan yang sifatnya fantasi dengan realitas kehidupan sekelilingnya.
Jalan
Keluar
Langkah yang perlu segera diambil
yaitu bagaimana agar jangan sampai anak itu kecanduan. Sebab, kalau sudah
kecanduan akan sulit mengarahkannya agar mau mengerti tentang akibat sampingan
alat mainan itu. Utami maupun Shinto sependapat, menggiring anak pada kegiatan
lain memang tidak mudah, tapi bagaimana pun ini adalah tugas orangtua dan
mereka harus mampu memahami minat anaknya.
Sementara Shinto menawarkan kegiatan
yang bisa menggiring anak meninggalkan permainan yang cukup berpengaruh itu
atau menjauhkan mereka dari dingdong atau sejenisnya, yakni dengan mengikutkan
pada kegiatan ekstra kurikuler. “Karena, menutup toko yang menyewakan atau
menjual game watch tidaklah mungkin, tapi batasilah uang jajan anak-anak dan
motivasi mereka untuk tidak terpengaruh untuk membeli sejenis mainan itu,”
ujarnya.
Alternatif lain diungkapkan Siti
Hidayati, yakni lebih menitikberatkan pada dihidupkannya kembali keterampilan
tradisional di SD. Dari segi sosiologi keluarga, ia menekankan agar orangtua
lebih menyadari perannya sebagai social agent bagi anak-anaknya. Orangtua harus
mampu jadi teman bermain bagi anak-anaknya, sehingga komunikasi menjadi lancar
dan anak tidak perlu lagi mencari kesibukan di luar rumah. Apalagi kenyataannya
kini, anak-anak di kota seperti kehilangan tempat bermain, setelah semuanya
berubah jadi pusat-pusat pertokoan dan perkantoran.
Tapi, menurut Kak Seto, yang paling
efektif yaitu dengan membiasakan kembali mendongeng bagi anak-anak. Dalam era
globalisasi kini, orangtua wajib berperan sebagai penyampai pesan (komunikator)
bagi anak-anaknya dengan kegiatan mendongeng. Hal itu bisa dilakukan setelah
ibunya pulang dari bepergian dengan menceritakan apa yang pernah dilihatnya
atau juga oleh ayahnya ketika anaknya hendak tidur malam.
Dus, bukan hanya orangtua yang
pegang peranan di sini, tetapi guru pun harus ikut aktif. Guru harus dapat
menempatkan dirinya di tengah anak-anak yang masih dalam proses perkembangan
dengan segala tantangannya agar anak didiknya merasa kerasan tinggal di kelas.
Di samping itu, ketika di sekolah, guru hendaknya jangan hanya memberi PR yang
sifatnya abstrak, tetapi hendaknya yang bersifat realistis, misalnya dengan
menyuruh anak menyelidiki proses persemaian pada tumbuhan dan sebagainya.
(Sumber : Artikel be Your Self)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar